4/12/2009

Candi Jawi, Pasuruan Jawa Timur

0 komentar


Dibangun sekitar abad 13, Candi Jawi bukanlah merupakan tempat pemujaan atau tempat peribadatan. Candi ini merupakan tempat penyimpanan abu dari raja terakhir Singosari, Kertanegara. Sebagian dari abu tersebut juga disimpan pada Candi Singosari. Kedua candi ini ada hubungannya dengan Candi Jago yang merupakan tempat beribadat Kertanegara.

Mengapa Kertanegara membangun candi di sini. Padahal, letaknya jauh dari pusat kerajaan? Bisa jadi karena di kawasan ini pengikut agama Siwa-Buddha sangat kuat. Rakyat di daerah itu sangat setia. Sekalipun Kertanegara dikenal sebagai raja yang masyhur, ia juga memiliki banyak musuh di dalam negeri. Kidung Panji Wijayakrama, misalnya, menyebutkan terjadinya pemberontakan Kelana Bayangkara. Negarakertagama mencatat adanya pemberontakan Cayaraja.

Mungkin saja, kawasan Candi Jawi dijadikan basis pendukung Kertanegara. Terbukti, saat Dyah Wijaya, menantu Kertanegara, melarikan diri setelah Kertanegera dikudeta raja bawahannya, Jayakatwang dari Gelang-gelang (daerah Kediri), sempat bersembunyi di daerah ini, sebelum akhirnya mengungsi ke Madura.

Bentuk candi berkaki Siwa, berpundak Buddha. Bentuknya tinggi ramping seperti Candi Prambanan di Jawa Tengah, dengan ukuran luas 14,24 x 9,55 meter dan tinggi 24,50 meter. Pintunya menghadap ke timur. Posisi pintu ini oleh sebagian ahli dipakai alasan untuk mempertegas bahwa candi ini bukan tempat pemujaan atau pradaksina.

Biasanya, candi untuk peribadatan menghadap ke arah gunung, tempat bersemayam kepada Dewa. Candi Jawi justru membelakangi Gunung Penanggungan. Sementara ahli lain menganggap sebagai candi pemujaan. Posisi pintu yang tidak menghadap ke gunung karena pengaruh dari Buddha.

Keunikan Candi Jawi adalah adanya relief di dinding. Sayangnya, relief ini belum bisa dibaca. Bisa jadi karena pahatannya yang terlalu tipis, atau karena kurangnya informasi pendukung, seperti dari prasasti atau naskah. Negarakertagama yang secara jelas menceritakan candi ini tidak menyinggung sama sekali soal relief tersebut. Berbeda dengan relief di Candi Jago dan Candi Penataran yang masih jelas. Salah satu fragmen yang ada pada dinding candi, menggambarkan sendiri keberadaan candi Jawi tersebut beserta beberapa bangunan lain disekitar candi. Nampak Jelas pada fragmen tersebut pada sisi timur dari candi terdapat candi perwara sebanyak tiga buah, namun sayang sekali kondisi ketiga perwara tersebut saat ini bisa dibilang rata dengan tanah. demikan juga di fragmen tersebut terlihat jelas bahwa terdapat candi bentar yang merupakan pintu gerbang candi, terletak sebelah barat. Sisa-sisa bangunan tersebut memang masih ada, namun bentuknya lebih mirip onggokan batu bata, karena memang gerbang candi tersebut dibangun dari batu bata merah.


Disamping relief yang terletak dibagian dinding candi, terdapat pula relief lain yang terletak dibagian dalam candi. Terletak tepat dibagian tengah candi yang merupakan bagian tertinggi dari bagian dalam candi, terdapat sebuah relief Dewa Surya yang terpahat jelas.

Keunikan lain dari Candi Jawi adalah batu yang dipakai sebagai bahan bangunannya terdiri dari dua jenis. Bagian bawah terdiri dari batu hitam, sedangkan bagian atas batu putih. Bisa jadi ada dua periode pembangunannya.

Memang, Negarakertagama menyebutkan bahwa candrasengkala atau tahun Api Memanah Hari (1253 Saka) candi itu disambar petir. Saat itulah arca Maha Aksobaya raib. Raja Majapahit Prabu Hayam Wuruk yang mengunjungi candi itu sampai bersedih atas hilangnya arca tersebut. Memang ditemukan arca Maha Aksobaya yang kini disimpan di Taman Apsari, depan Kantor Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jatim, yang kemudian dikenal dengan Patung Jokodolog. Akan tetapi, arca ini bukan berasal dari Candi Jawi.

Setahun setelah disambar petir itu, dilakukan pembangunan kembali. Pada masa inilah diperkirakan menggunakan batu putih. Namun, dari mana batu putih tersebut? Karena, kawasan yang masuk kaki Gunung Welirang kebanyakan batu hitam. Batu putih banyak dijumpai di daerah pesisir utara Jawa atau Madura.

Candi Jawi dipugar untuk kedua kalinya tahun 1938-1941 karena kondisinya sudah runtuh. Akan tetapi, renovasinya tidak sampai tuntas karena sebagian batunya hilang. Kemudian diperbaiki kembali tahun 1975-1980, dan diresmikan tahun 1982.

Bentuk bangunan Candi Jawi memang utuh, tetapi isinya berkurang. Negarakertagama menyebutkan, di dalam bilik candi terdapat arca Siwa. Di atasnya terdapat Maha Aksobaya. Ada sejumlah arca bersifat Siwa, seperti Nandiswara, Durga, Ganesa, Nandi, dan Brahma.

Arca Durga kini disimpan di Museum Empu Tantular, Surabaya. Lainnya disimpan di Museum Trowulan untuk pengamanan. Sedangkan yang lainnya lagi, seperti arca Brahmana, tidak ditemukan. Mungkin saja sudah berkeping-keping.

Di gudang belakang candi memang terdapat potongan-potongan patung. Selain itu, terdapat pagar bata merah seperti yang banyak dijumpai di bangunan pada masa Kerajaan Majapahit, seperti Candi Tikus di Trowulan dan Candi Bajangratu di Mojokerto.

Pemindahan arca pada satu sisi memang tepat untuk menghindarkan dari pencurian. Akan tetapi, dapat mengurangi substansi sejarahnya. Menjadi tidak lengkap. Arca-arca yang dipindah dari habitatnya menjadi kehilangan nilai historisnya. Lihat saja arca yang disimpan di Hotel Tugu Park, Malang. Arca-arca itu memang terawat baik, tetapi lantas tercabut dari nilai historis dan ritualitasnya. Suatu hal yang memang dilematis.
READ MORE - Candi Jawi, Pasuruan Jawa Timur

Candi Singosari, Malang Jawa Timur

0 komentar


Cara pembuatan candi Singhasari ini dengan sistem menumpuk batu andhesit hingga ketinggian tertentu selanjutnya diteruskan dengan mengukir dari atas baru turun ke bawah. (Bukan seperti membangun rumah seperti saat ini).Candi ini berlokasi di Desa Candirenggo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, (sekitar 10km dari Kota Malang) terletak pada lembah di antara Pegunungan Tengger dan Gunung Arjuna di ketinggian 512m dari permukaan laut.

Berdasarkan penyebutannya pada Kitab Negarakertagama pupuh 37:7 dan 38:3 serta Prasasti Gajah Mada bertanggal 1351 Masehi di halaman komplek candi, candi ini merupakan tempat "pendharmaan" bagi raja Singasari terakhir, Sang Kertanegara, yang mangkat pada tahun 1292 akibat istana diserang tentara Gelang-gelang yang dipimpin oleh Jayakatwang. Kuat dugaan, candi ini tidak pernah selesai dibangun.

Komplek percandian menempati areal 200m×400m dan terdiri dari beberapa candi. Di sisi barat laut komplek terdapat sepasang arca raksasa besar (tinggi hampir 4m, disebut dwarapala) dan posisi Gada (Senjata ) menghadap ke bawah, ini menunjukkan meskipun penjaganya raksasa tetapi masih ada rasa kasih sayang terhadap semua mahkluk hidup dan ungkapan selamat datang bagi semuanya. Dan posisi arca ini hanya ada di Singhasari, tidak ada di tempat ataupun kerajaan lainnya. Dan di dekatnya arca Dwarapala terdapat alun-alun. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa candi terletak di komplek pusat kerajaan. Letak candi Singhasari yang dekat dengan kedua arca dwarapala menjadi menarik ketika dikaitkan dengan ajaran Saiwa yang mengatakan bahwa dewa Siwa bersemayam di puncak Kailasa dalam wujud lingga, batas Timur terdapat gerbang dengan Ganesha atau Ganapati sebagai penjaganya, gerbang Barat dijaga oleh Kala dan Amungkala, gerbang Selatan dijaga oleh Resi Agastya, gerbang Utara dijaga oleh Batari Gori. Karena letak candi Singhasari yang sangat dekat dengan kedua arca tersebut yang terdapat pada jalan menuju ke gunung Arjuna, penggunaan candi ini diperkirakan tidak terlepas dari keberadaan gunung Arjuna dan para pertapa yang bersemayam di puncak gunung ini pada waktu itu.


Bangunan candi utama dibuat dari batu andesit, menghadap ke barat, berdiri pada alas bujursangkar berukuran 14m×14m dan tinggi candi 15m. Candi ini kaya akan ornamen ukiran, arca, dan relief. Di dalam ruang utama terdapat lingga dan yoni. Terdapat pula bilik-bilik lain: di utara (dulu berisi arca Durga yang sudah hilang), timur yang dulu berisi arca Ganesha, serta sisi selatan yang berisi arca Siwa-Guru (Resi Agastya). Di komplek candi ini juga berdiri arca Prajnaparamita, dewi kebijaksanaan, yang sekarang ditempatkan di Museum Nasional, Jakarta. Arca-arca lain berada di Institut Tropika Kerajaan, Leiden, Belanda, kecuali arca Agastya.

Candi Singasari baru mendapat perhatian pemerintah kolonial Hindia Belanda pada awal abad ke-20 dalam keadaan berantakan. Restorasi dimulai tahun 1934 dan bentuk yang sekarang dicapai pada tahun 1936.
READ MORE - Candi Singosari, Malang Jawa Timur

Candi Plaosan, Klaten Jawa Tengah

0 komentar



Candi Plaosan sebutan untuk kompleks percandian yang terletak di Dukuh Plaosan, Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah, kira-kira satu kilometer ke arah timur-laut dari Candi Sewu atau Candi Prambanan. Adanya kemuncak stupa, arca Buddha, serta candi-candi perwara (pendamping/kecil) yang berbentuk stupa menandakan bahwa candi-candi tersebut adalah candi Buddha. Kompleks ini dibangun pada abad ke-9 oleh Raja Rakai Pikatan dan Sri Kahulunan pada zaman kerajaan Mataram Kuno.

Kompleks Candi Plaosan terdiri atas Candi Plaosan Lor dan Candi Plaosan Kidul.

Candi Plaosan Lor

Kompleks Candi Plaosan Lor memiliki dua candi utama. Candi yang terletak di sebelah kiri (di sebelah utara) dinamakan Candi Induk Utara dengan relief yang menggambarkan tokoh-tokoh wanita, dan candi yang terletak di sebelah kanan (selatan) dinamakan Candi Induk Selatan dengan relief menggambarkan tokoh-tokoh laki-laki. Di bagian utara kompleks terdapat masih selasar terbuka dengan beberapa arca buddhis. Kedua candi induk ini dikelilingi oleh 116 stupa perwara serta 50 buah candi perwara, juga parit buatan.

Pada masing-masing candi induk terdapat 6 patung/arca Dhyani Boddhisatwa. Walaupun candi ini adalah candi Buddha, tetapi gaya arsitekturnya merupakan perpaduan antara agama Buddha dan Hindu.

Candi Induk Selatan Plaosan Lor dipugar pada tahun 1962 oleh Dinas Purbakala. Sementara itu, Candi Induk Selatan dipugar pada tahun 1990-an oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah.

Candi Plaosan Kidul

Berbeda dari Candi Plaosan Lor, Candi Plaosan Kidul belum diketahui memiliki candi induk. Pada kompleks ini terdapat beberapa perwara berbentuk candi dan stupa. Sebagian di antara candi perwara telah dipugar.
READ MORE - Candi Plaosan, Klaten Jawa Tengah

4/03/2009

Kota Bukittinggi, Padang Sumbar

0 komentar


Kota Bukittinggi adalah salah satu kota di Sumatera Barat, Indonesia. Kota ini memiliki luas wilayah 25,24 km² dan berpenduduk sebanyak kurang lebih 100.000 jiwa. Letaknya sekitar 2 jam perjalanan lewat darat (90 km) dari ibukota provinsi Padang. Bukittinggi dikelilingi tiga gunung berapi yaitu Gunung Singgalang, Gunung Marapi dan Gunung Sago.

Kota yang merupakan kota kelahiran Bung Hatta, adalah sebuah kota budaya di Sumatera Barat dan terkenal dengan Jam Gadang yang merupakan simbol kota Bukittinggi.

Selain memiliki potensi objek wisata, kota berhawa sejuk ini merupakan salah satu daerah tujuan utama dalam bidang perdagangan di pulau Sumatera. Bukittinggi telah lama dikenal sebagai pusat penjualan konveksi yang tepatnya berada di Pasar aur kuning.

Sejarah
Semasa pemerintahan Belanda, Bukittinggi selalu ditingkatkan perannya dalam ketatanegaraan, dari apa yang dinamakan Gemetelyk Resort berdasarkan Stbl tahun 1828. Belanda telah mendirikan kubu pertahanannya pada tahun 1825, yang sampai sekarang kubu pertahanan tersebut masih ada dam dikenal sebagai Benteng Fort De Kock. Kota ini telah digunakan juga oleh Belanda sebagai tempat peristirahatan opsir-opsir yang berada di wilayah jajahannya.

Pada masa pemerintahan Jepang, Bukittinggi dijadikan sebagai pusat pengendalian pemerintah militernya untuk kawasan Sumatera, bahkan sampai ke Singapura dan Thailand, karena disini berkedudukan komandan Militer ke 25. Pada masa ini Bukittinggi berganti nama dari Taddsgemente Fort de Kock menjadi Bukittinggi Si Yaku Sho yang daerahnya diperluas dengan memasukkan nagari-nagari Sianok, Gadut, Kapau, Ampang Gadang, Batu Taba dan Bukit Batabuah yang sekarang kesemuanya itu kini berada dalam daerah Kabupaten Agam, di Kota ini pulalah bala tentara Jepang mendirikan pemancar radio terbesar untuk pulau Sumatera dalam rangka mengibarkan semangat rakyat untuk menunjang kepentingan perang Asia Timur Raya versi Jepang.


Pada masa perjuangan kemerdekaan RI, Bukitinggi berperan sebagai kota perjuangan. Dari bulan Desember 1948 sampai dengan bulan Juni 1949, Bukittinggi ditunjuk sebagai ibukota Pemerintahan Darurat Republik Indonesia ( PDRI ), setelah Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda. Selanjutnya Bukittinggi pernah menjadi ibukota propinsi Sumatera dengan gubernurnya Mr. Tengku Muhammad Hasan. Kemudian dalam PP Pengganti undang-undang No. 4 tahun 1959, Bukittinggi ditetapkan sebagai ibukota Sumatera Tengah yang meliputi keresidenan-keresidenan Sumatera Barat, Jambi dan Riau yang sekarang masing-masing keresidenan itu telah menjadi provinsi sendiri.

Geografi
Secara geografis Bukittinggi terletak antara 100,210 – 100,250 derajat bujur timur dan antara 00.760 – 00,190 derajat lintang selatan dengan ketinggian 909 – 941 meter diatas permukaan laut, berudara sejuk dengan suhu berkisar antara min 16,10 – 24,90 max.

Pariwisata


Bukittinggi memiliki julukan sebagai "kota wisata" karena banyaknya objek wisata yang terdapat di kota ini. Lembah Ngarai Sianok merupakan salah satu objek wisata utama. Taman Panorama yang terletak di dalam kota Bukittinggi memungkinkan wisatawan untuk melihat keindahan pemandangan Ngarai Sianok. Di dalam Taman Panorama juga terdapat gua bekas persembunyian tentara Jepang sewaktu Perang Dunia II yang disebut sebagai 'Lobang Jepang'.

Di Taman Bundo Kanduang terdapat replika Rumah Gadang yang berfungsi sebagai museum kebudayaan Minangkabau, kebun binatang dan benteng Fort de Kock yang dihubungkan oleh jembatan penyeberangan yang disebut Jembatan Limpapeh. Jembatan penyeberangan Limpapeh berada di atas Jalan A. Yani yang merupakan jalan utama di kota Bukittinggi

Pasar Atas berada berdekatan dengan Jam Gadang yang merupakan pusat keramaian kota. Di dalam Pasar Atas yang selalu ramai terdapat banyak penjual kerajinan bordir dan makanan kecil oleh-oleh khas Sumatera Barat seperti Keripik Sanjai yang terbuat dari singkong, serta Kerupuk Jangek (Kerupuk Kulit) yang terbuat dari kulit sapi atau kerbau dan [Karak Kaliang]], sejenis makanan kecil khas Bukittinggi yang berbentuk seperti angka 8.

Danau Maninjau terletak sekitar 36 km atau sekitar 45 menit perjalanan dengan mobil dari kota Bukittinggi. Secara geografis, Bukittinggi, terdiri dari bukit-bukit. Oleh sebab itu jalanya mendaki dan menurun, berdsarkan bukit itulah kemudian, pemerintahan dibagi (sebelum Orde Baru memecahnya ke dalam Kelurahan), ke dalam 5 jorong (Guguak Panjang, Mandiangin Koto Selayan, Bukit Apik Pintu Kabun, Aua Birugo, dan Tigo Baleh).

Dan pada saat ini juga telah dibangun pusat perbelanjaan modern di bukittinggi.

Hotel-hotel yang terdapat di kota Bukittinggi antara The Hills (sebelumnya Novotel), Hotel Pusako, dan hotel-hotel lainnya.
READ MORE - Kota Bukittinggi, Padang Sumbar

Danau Toba, Sumut

0 komentar


Danau Toba adalah sebuah danau vulkanik dengan ukuran panjang 100 kilometer dan lebar 30 kilometer yang terletak di Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Di tengah danau ini terdapat sebuah pulau vulkanik bernama Pulau Samosir.

Danau Toba sejak lama menjadi daerah tujuan wisata penting di Sumatera Utara selain Bukit Lawang dan Nias, menarik wisatawan domestik maupun mancanegara.

Sejarah

Diperkirakan Danau Toba terjadi saat ledakan sekitar 73.000-75.000 tahun yang lalu dan merupakan letusan supervolcano (gunung berapi super) yang paling baru. Bill Rose dan Craig Chesner dari Michigan Technological University memperkirakan bahwa bahan-bahan vulkanik yang dimuntahkan gunung itu sebanyak 2.800 km³, dengan 800 km³ batuan ignimbrit dan 2.000 km³ abu vulkanik yang diperkirakan tertiup angin ke barat selama 2 minggu. Debu vulkanik yang ditiup angin telah menyebar ke separuh bumi, dari Cina sampai ke Afrika Selatan. Letusannya terjadi selama 1 minggu dan lontaran debunya mencapai 10 km di atas permukaan laut.


Kejadian ini menyebabkan kematian massal dan pada beberapa spesies juga diikuti kepunahan. Menurut beberapa bukti DNA, letusan ini juga menyusutkan jumlah manusia sampai sekitar 60% dari jumlah populasi manusia bumi saat itu, yaitu sekitar 60 juta manusia. Letusan itu juga ikut menyebabkan terjadinya zaman es, walaupun para ahli masih memperdebatkannya.

Setelah letusan tersebut, terbentuk kaldera yang kemudian terisi oleh air dan menjadi yang sekarang dikenal sebagai Danau Toba. Tekanan ke atas oleh magma yang belum keluar menyebabkan munculnya Pulau Samosir.
READ MORE - Danau Toba, Sumut

Museum Gajah atau Museum Nasional RI

0 komentar


Museum Nasional Republik Indonesia atau Museum Gajah, adalah sebuah museum yang terletak di Jakarta Pusat dan persisnya di Jalan Merdeka Barat.

Sejarah Museum Gajah
Museum Nasional Republik Indonesia adalah salah satu wujud pengaruh Eropa, terutama semangat Abad Pencerahan, yang muncul pada sekitar abad 18. Ia dibangun pada tahun 1862 oleh Pemerintah Belanda di bawah Gubernur-Jendral JCM Radermacher sebagai respons adanya perhimpunan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yang bertujuan menelaah riset-riset ilmiah di Hindia Belanda. Museum ini diresmikan pada tahun 1868, tapi secara institusi tahun lahir Museum ini adalah 1778, saat pembentukan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen oleh pemerintah Belanda.

Museum Nasional dikenal sebagai Museum gajah sejak dihadiahkannya patung gajah oleh Raja Chulalongkorn dari Thailand pada 1871. Tetapi pada 28 Mei 1979, namanya resmi menjadi Museum Nasional Republik Indonesia. Kemudian pada 17 Februari 1962, Lembaga Kebudayaan Indonesia yang mengelolanya, menyerahkan Museum kepada pemerintah Republik Indonesia. Sejak itu pengelolaan museum resmi oleh Direktorat Jendral Sejarah dan Arkeologi, di bawah Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Tetapi mulai tahun 2005, Museum Nasional berada di bawah pengelolaan Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata.

Catatan di website Museum Nasional Republik Indonesia pada tahun 2001 menunjukkan bahwa koleksinya telah mencapai 109.342 buah. Jumlah koleksi itulah yang membuat museum ini dikenal sebagai yang terlengkap di Indonesia. Pada tahun 2006 jumlah koleksinya sudah melebihi 140.000 buah, tapi baru sepertiganya saja yang dapat diperlihatkan kepada khalayak.

Museum ini terletak di Jalan Merdeka Barat.

Koleksi Museum Nasional

Museum Gajah banyak mengkoleksi benda-benda kuno dari seluruh Nusantara. Antara lain yang termasuk koleksi adalah arca-arca kuna, prasasti, benda-benda kuna lainnya dan barang-barang kerajinan. Koleksi-koleksi tersebut dikategorisasikan ke dalam etnografi, perunggu, prasejarah, keramik, tekstil, numismatik, relik sejarah, dan benda berharga.

Sebelum gedung Perpustakaan Nasional RI yang terletak di Jalan Salemba 27, Jakarta Pusat didirikan, koleksi Museum Gajah termasuk naskah-naskah manuskrip kuna. Naskah-naskah tersebut dan koleksi perpustakaan Museum Gajah kini disimpan di Perpustakaan Nasional.

Sumber koleksi banyak berasal dari penggalian arkeologis, hibah kolektor sejak masa Hindia Belanda dan pembelian. Koleksi keramik dan koleksi etnografi Indonesia di museum ini terbanyak dan terlengkap di dunia. Museum ini merupakan museum pertama dan terbesar di Asia Tenggara.

Koleksi yang menarik adalah Patung Bhairawa patung yang tertinggi di Museum Nasional dengan tinggi 414 cm ini merupakan manifestasi dari Dewa Lokeswara atau Awalokiteswara, yang merupakan perwujudan Boddhisatwa (pancaran Buddha) di bumi. Patung ini berupa laki-laki berdiri diatas mayat dan deretan tengkorak serta memegang cangkir dari tengkorak di tangan kiri dan keris pendek dengan gaya Arab ditangan kanannya, ditemukan di Padang Roco, Sumatra Barat. Diperkirakan patung ini berasal dari abad ke 13 - 14. Koleksi arca Buddha tertua di Museum ini berupa arca Buddha Dipangkara yang terbuat dari perunggu, disimpan dalam ruang perunggu dalam kotak kaca tersendiri, berbeda nasibnya dengan arca Buddha, arca Hindu tertua di Nusantara, yaitu Wisnu Cibuaya (sekitar 4M) terletak di ruang arca batu tanpa teks label dan terhalang oleh arca Ganesha dari candi Banon.

Pemeliharaan Koleksi
Pada 1960an, pernah terjadi pencurian koleksi emas yang dilakukan oleh kelompok pimpinan Kusni Kasdut. Pada 1979 terjadi pula pencurian koleksi uang logam. Pada 1987 beberapa koleksi keramik senilai Rp. 1,5 milyar. Dan pada 1996 pencurian lukisan yang bisa ditemukan kembali di Singapura.

Hal ini menyadarkan pengelola bahwa keamanan adalah faktor penting untuk menjaga koleksi. Karena itu museum dilengkapi dengan alarm, kamera pengaman, dan 17 petugas keamanan.

Kondisi koleksi dijaga dengan ketat dengan usaha konservasi. Terutama adalah koleksi dari kertas yang butuh penanganan hati-hati. Seringkali bagian koleksi yag rusak diganti dengan bahan tiruan. Meskipun hal ini mengurangi otentisitas, tetapi tetap mempertimbangkan sisi estetika dan bentuk asli karya yang dikonservasi. Sering pula ditemui usaha rekonstruksi untuk mengganti koleksi yang rusak parah.

Secara umum, hal ini memperlihatkan sikap umum museum di kebanyakan wilayah Asia yang lebih mengutamakan restorasi daripada menjaga ontentisitas.
READ MORE - Museum Gajah atau Museum Nasional RI

4/01/2009

Seawalker di Pantai Sanur

0 komentar


Nah wisata bahari kali ini, kita akan mencoba salah satu olahraga air yang seru dan asyik di Bali. Bukan snorkeling, scuba diving atau surfing, tapi seawalker alias berjalan di dasar laut. Lokasinya di pantai Sanur, dekat hotel Puri Santrian. Perlengkapan yang dipakaipun cukup helm dive yg dirancang khusus untuk aktifitas bawah laut seperti Seawalker. Dan yang menarik, aktifitas yang satu ini bisa diikuti bahkan oleh yang tidak bisa berenang sama sekali. Tanya kenapa?
Sebelum terjun ke laut, kita akan diberikan briefing dulu mengenai teknik-teknik saat menyelam nantinya di hotel Puri Santrian Sanur.

Selanjutnya kita akan diantar dengan boat menuju ke pontoon-nya Seawalker yg berada di tengah laut. Di sini kita akan dipasangkan helm khusus yg dialiri oleh oksigen murni. Dipandu oleh sang instruktur, kita akan menuruni tangga yg ada untuk turun menjejakkan kaki didasar laut yg kedalamannya sekitar 5-7 meter saja. Tetap tenang dan nyantai saja, karena kita tidak merasa ada perbedaan antara bernafas di darat dengan bernafas didalam air. Tidak masalah jika anda memakai kacamata atau kontak lens, helm unik ini tidak tembus. Jadi anda tetap bisa memakai kacamata anda di bawah air. Di dalam air, kita bisa berjalan-jalan menikmati pesona bawah laut yg ada sambil memberikan makan ikan-ikan yang menari-nari. Kira-kira setelah 30 menit menyelam, kita akan diajak naik menuju ke pontoon dan selanjutnya diantar lagi oleh boat menuju ke daratan untuk menikmati makan siang yg ada di restaurant hotel Puri Santrian. Total waktu yg kita butuhkan untuk aktivitas ini dari mulai penjemputan sampai kembali ke hotel sekitar 4 jam. Akan lebih bagus dan menarik untuk mengikuti trip pagi biar dapat air yg bagus dan jernih.

Harga Seawalker Option 1 sudah termasuk :
Antar jemput lokasi dengan kendaraan full AC, peralatan dengan standar keamanan internasional, asuransi jiwa, shower dan ruang ganti, lunch, air mineral, intruktur yang professional,serta pemakaian handuk.
Harga : Rp. 570.000/orang.

Harga Seawalker Option 2 sudah termasuk :
Peralatan dengan standar keamanan internasional, asuransi jiwa, shower dan ruang ganti, air mineral, intruktur yang professional,serta pemakaian handuk.
Harga : Rp. 480.000/orang

Syarat dan Ketentuan :
1. Peserta minimum berusia 9 tahun atau minimal tinggi 140 cm.
2. Pembatalan kurang dari 5 hari, cancelation fee dikenakan 100%
3. Minimal peserta adalah 2 orang

Penjemputan:
Untuk jadwal penjemputan jam 07.15-07.30, jam 07.30-08.00 dan jam 12.00

Pemesanan dan Pembayaran:

**Untuk pemesanan, hubungi (0361) 7977824 atau kirim email ke sales@e-kuta.com. Untuk informasi lebih lengkap, bisa klik di sini

READ MORE - Seawalker di Pantai Sanur